“Bunga mungkin selamat malam itu, tapi traumanya tinggal lebih lama dari perjalanan yang ia tempuh bersama oknum driver ojol”
Sigit Angki Nugraha, BANTENHUB.ID – Sabtu, 12 April 2025 petang, langit Cilegon mulai menggelap, tapi kota belum benar-benar tidur.
Di salah satu sudut kawasan Ciwaduk, Citangkil, Kota Cilegon, seorang gadis berusia 18 tahun, kita samarkan namanya sebagai Bunga, memesan ojek online untuk pulang ke rumah di Keranggot Jombang Kota Cilegon.
Tak ada yang tampak mencurigakan pada awalnya.
Aplikasi menunjukkan perjalanan akan berlangsung sekitar 15 menit.
Tapi malam itu, waktu terasa jauh lebih panjang dari seharusnya.
Begitu motor datang, Bunga naik seperti biasa.
Namun beberapa menit setelah kendaraan melaju, suasana mulai berubah.
Oknum driver yang mengemudikan motor Honda Scoopy merah tua itu mulai melontarkan kalimat-kalimat bernada menggoda.
“Sendirian aja, Neng? Gak takut sama abang?” ucapnya sambil tersenyum miring.
Bunga hanya diam, ia merasa tak nyaman, tapi mencoba tetap tenang.
Namun godaan itu tak berhenti, sang pengemudi lantas meminta Bunga untuk duduk lebih dekat ke arahnya.
“Duduknya maju dikit, biar gak jatuh,” katanya, yang bagi Bunga terasa seperti dalih untuk mendekat secara tidak wajar.
Hal yang membuat Bunga semakin takut, bukan hanya kata-kata si oknum, tapi arah perjalanan yang mulai tak masuk akal.
Alih-alih mengikuti rute tercepat menuju rumah, driver justru membawa motor melewati jalur memutar, melewati jalanan gelap, sepi, bahkan sempat melewati makam Balung kemudian ke arah Bonakarta.
“Padahal bisa langsung lewat Temu Putih ke Panggungrawi, tapi dia malah belok-belok gak jelas. Saya sudah tanya, tapi dia cuma bilang ‘biar cepet aja lewat sini’,” tutur Bunga kepada keluarganya kemudian.
Saat motor melambat di jalan sunyi, rasa cemas makin membuncah.
Bunga mencoba tetap tenang meskipun dadanya bergemuruh.
Ia menggenggam erat ponselnya, bersiap menghubungi siapa saja jika terjadi hal tak diinginkan.
Untungnya, perjalanan akhirnya benar-benar sampai ke tujuan.
Namun sesampainya di sana, driver langsung membatalkan pesanan secara sepihak.
Jejak identitas di aplikasi pun menghilang.
“Saya langsung ditelepon adik saya begitu dia sampai. Suaranya gemetar. Dia bilang kapok naik ojol lagi,” ujar kakak korban dengan nada geram.
Kini, keluarga berusaha mencari informasi terkait pelaku.
Namun tanpa data dari aplikasi, semuanya menjadi sulit.
Yang tersisa hanya ingatan tentang motor Scoopy merah tua dan rasa takut yang belum hilang.
Aktivis perlindungan perempuan, Puji Rahayu Salim, menyayangkan kejadian ini.
Menurutnya, pelecehan verbal yang dialami korban tetap termasuk bentuk kekerasan yang harus ditindak.
“Perempuan punya hak merasa aman di ruang publik, termasuk saat naik kendaraan online. Ini bukan cuma soal sopan santun, tapi soal perlindungan yang sistematis,” ujarnya.
Ia juga menyarankan pengguna ojol, terutama perempuan, untuk memverifikasi identitas driver sebelum naik.
“Selain itu juga jangan ragu untuk memfoto kendaraan dan wajah pengemudi, serta tidak ragu membatalkan pesanan jika merasa tidak aman,” jelasnya.
Peristiwa yang dialami Bunga adalah alarm bagi kita semua.
Bahwa di balik teknologi yang memudahkan, masih ada celah yang perlu diperbaiki.
Rasa aman seharusnya bukan jadi pilihan, tapi hak. (***)