Site icon Bantenhub.id

Zonasi Sampah: Jalan Baru Menuju Cilegon yang Lebih Bersih dan Berdaulat Lingkungan

Kota Cilegon hari ini terus bergerak maju sebagai simpul industri strategis nasional.

Namun, dalam laju percepatan pembangunan tersebut, kita tidak boleh abai terhadap persoalan yang tampak sepele tapi berdampak sistemik: pengelolaan sampah.

Dalam konteks kota industri, persoalan sampah tidak bisa lagi disederhanakan sekadar urusan teknis pengangkutan dan pembuangan.

Ia adalah soal struktur, tata kelola, dan keberanian membuat terobosan.

Menurut data Dinas Lingkungan Hidup Kota Cilegon, rata-rata volume sampah mencapai 250–300 ton per hari, dengan kontribusi terbesar berasal dari kawasan permukiman, pasar, dan sektor industri.

Namun sayangnya, lebih dari 70% dari timbunan tersebut langsung dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bagendung, yang kini mendekati batas kapasitas.

Strategi pengelolaan saat ini cenderung hilir-sentris—fokus pada pemindahan sampah dari sumber ke TPA—tanpa ada upaya berarti dalam pengolahan dari sumber (hulu).

Padahal, pendekatan semacam ini sudah tidak relevan dengan kompleksitas masalah lingkungan kota modern.

Zonasi Sampah: Desentralisasi Ekologis dan Efisiensi Wilayah

Solusi alternatif yang kini perlu dipertimbangkan secara serius adalah penerapan zonasi pengelolaan sampah berbasis kecamatan.

Konsep ini sejalan dengan pendekatan decentralized waste management yang telah diterapkan di sejumlah kota seperti Surabaya, Bandung, dan bahkan beberapa kota kecil di Thailand dan Filipina.

Melalui pendekatan ini, setiap kecamatan akan memiliki Unit Pengelolaan Sampah (UPS) sendiri, yang meliputi:

Praktik ini tidak hanya efisien, tetapi juga memberikan ruang partisipasi lebih besar bagi masyarakat dan komunitas lokal.

Ini sejalan dengan konsep ecological governance, di mana pengelolaan sumber daya alam dilakukan secara kolaboratif oleh negara, pasar, dan komunitas (Lemos & Agrawal, 2006).

Dengan demikian, pengelolaan sampah bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, melainkan juga menjadi bagian dari budaya kolektif warga kota.

Teknologi Ramah Lingkungan: Bukan Beban, tapi Peluang

Salah satu ketakutan yang kerap muncul adalah persoalan biaya teknologi.

Namun hari ini, teknologi pengolahan termal skala kecil sudah semakin murah dan efisien.

Beberapa kabupaten seperti Banyuwangi, Malang, dan Gianyar telah mengadopsi teknologi ini untuk mengelola residu sampah yang tidak bisa diolah secara konvensional.

Teknologi seperti pyrolysis tidak membakar sampah secara terbuka, melainkan memprosesnya dalam ruang hampa oksigen sehingga menghasilkan emisi yang minim.

Proses ini bahkan menghasilkan energi panas yang bisa dimanfaatkan untuk keperluan komunitas.

Teknologi bukan musuh, tapi sahabat dalam membangun sistem kota yang berdaya.

Namun teknologi tanpa desain kebijakan yang cerdas akan berujung pada pemborosan.

Oleh karena itu, langkah awal yang harus ditempuh adalah membangun kerangka regulasi zonasi sampah, yang mendorong:

Dari Warga, Untuk Kota

Masyarakat Cilegon memiliki semangat gotong royong yang kuat.

Di beberapa kelurahan, sudah ada inisiatif bank sampah, kompos komunitas, hingga gerakan bersih sungai.

Ini adalah modal sosial yang berharga, yang dibutuhkan kini adalah arus kebijakan yang berpihak pada model desentralisasi pengelolaan, bukan sekadar menambal kebocoran dari sistem lama.

Zonasi sampah bukan semata solusi teknis, tapi juga gerakan politik ekologis—yakni dorongan untuk membangun sistem kota yang lebih adil terhadap ruang, terhadap warga, dan terhadap lingkungan.

Ia adalah upaya menjadikan kota bukan sekadar tempat tinggal, tapi ruang hidup yang layak waris.

Sudah saatnya kita menyadari bahwa sampah bukan lagi sekadar masalah kebersihan, tapi cermin dari tata kelola kota kita sendiri.

Kota yang bersih bukan karena sering disapu, tapi karena berani menata ulang cara kerjanya.

Jika Cilegon ingin tetap tumbuh sebagai kota industri yang disegani, maka ia juga harus mampu berdiri sebagai kota yang ramah lingkungan dan berdaulat dalam mengelola sumber dayanya sendiri.(***)

Rizki K. Ichwan, lulusan Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia. 

Aktif menulis dan mendorong kebijakan berbasis tata kelola berkelanjutan.

Exit mobile version