Penulis: Rizki Khairul Ichwan
Laporan realisasi semester pertama dan prognosis semester kedua Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Cilegon Tahun Anggaran 2025 memberi ruang reflektif bagi kita untuk menilai ulang arah dan kualitas tata kelola fiskal di tingkat lokal.
Anggaran publik tidak hanya soal serapan dan pelaporan administratif, tetapi lebih jauh adalah manifestasi dari akuntabilitas, kapasitas birokrasi, dan keberpihakan terhadap kepentingan publik.
Sayangnya, capaian realisasi belanja daerah per 30 Juni 2025 baru menyentuh angka 39,44 persen, atau Rp916,8 miliar dari total anggaran Rp2,32 triliun.
Dalam perspektif manajemen fiskal, serapan di bawah ambang 50 persen pada pertengahan tahun mencerminkan adanya masalah dalam konsistensi perencanaan, kesiapan pelaksanaan, dan efektivitas kendali anggaran.
Padahal, untuk menjaga ritme pembangunan yang sehat, serapan di semester pertama idealnya berada di atas 50 persen.
Ketimpangan ini membuka ruang kritis terhadap efektivitas perencanaan anggaran dan kinerja pelaksana teknis di tingkat satuan kerja perangkat daerah (SKPD).
Sektor-sektor strategis yang berdampak langsung terhadap pelayanan publik mengalami serapan yang amat rendah.
Sektor yang paling mencolok dari sisi minimnya serapan adalah infrastruktur.
Fungsi Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, misalnya, baru terealisasi 18,65 persen, sementara Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman bahkan lebih rendah di angka 12,75 persen.
Ini bukan semata masalah teknis, melainkan menandakan adanya stagnasi dalam kapasitas eksekusi program strategis.
Padahal kedua sektor ini memegang peran penting dalam penyediaan infrastruktur dasar dan pemerataan akses.
Penumpukan realisasi belanja fisik di semester kedua berisiko menghasilkan pekerjaan terburu-buru dan kualitas pembangunan yang menurun.
Dalam konteks ini, Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) bukan mencerminkan efisiensi, melainkan kegagalan dalam merencanakan dan mengeksekusi anggaran secara tepat waktu.
Kondisi ini semestinya tidak dinormalisasi.
Jika pola serupa terus berulang dari tahun ke tahun, maka kita sedang menghadapi stagnasi struktural dalam sistem penganggaran, bahwa belum ada reformasi manajemen proyek yang signifikan.
Kemandirian Fiskal yang Belum Tumbuh
Di sisi lain, pendapatan daerah pun menunjukkan tantangan serupa.
Hingga akhir Juni 2025, realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) baru mencapai Rp475,8 miliar atau 46,19 persen dari target Rp1,03 triliun.
Komponen dominan masih bersumber dari jenis-jenis pajak klasik seperti PBB-P2 (Rp100 miliar), BPHTB (Rp75,5 miliar), dan PBJT (Rp153,5 miliar).
Namun, potensi PAD lain tampak belum tergarap maksimal.
Pajak reklame baru menyentuh 29 persen, retribusi parkir bahkan belum mencapai 5 persen dari target.
Situasi ini mengindikasikan minimnya inovasi pada sisi intensifikasi dan ekstensifikasi pajak, serta absennya sistem digitalisasi dan basis data yang mumpuni.
Lebih jauh, prognosis semester kedua tetap diproyeksikan optimistik.
Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik sebesar Rp69,6 miliar, yang seharusnya menjadi tulang punggung pembangunan infrastruktur, belum terealisasi sama sekali hingga Juni.
Jika semester pertama menunjukkan serapan yang lambat, sementara belanja dan pendapatan diproyeksikan melonjak di semester berikutnya, maka terdapat risiko asumsi yang tidak empiris.
Anggaran semestinya disusun berbasis kapasitas real, bukan sekadar memenuhi target politik atau simbolik.
Antara Angka dan Makna
APBD bukan semata dokumen fiskal, melainkan kontrak politik antara pemerintah dan masyarakat.
Maka ukuran keberhasilannya tidak cukup berhenti pada tinggi-rendahnya angka serapan, tetapi pada keberdayaan masyarakat yang dicapai melalui anggaran tersebut.
Penguatan kapasitas teknis, percepatan pengadaan, serta penyesuaian jadwal pelaksanaan program secara lebih strategis perlu menjadi agenda prioritas.
Pemerintah daerah perlu berani mempraktikkan pendekatan performance-based budgeting yang menautkan belanja dengan indikator output dan outcome yang terukur.
Demikian pula pada sisi pendapatan, perlu disusun strategi fiskal yang inovatif dan adil.
Digitalisasi sistem pajak dan retribusi, audit potensi penerimaan, serta optimalisasi aset daerah harus ditempatkan dalam bingkai reformasi kelembagaan, bukan sekadar rutinitas administrasi.
Prognosis bukanlah arena spekulatif, melainkan instrumen untuk membaca kemungkinan berdasarkan kinerja faktual.
Oleh karena itu, menyelaraskan antara apa yang direncanakan dan apa yang benar-benar bisa dieksekusi menjadi tugas kolektif seluruh pemangku kepentingan daerah.
Transparansi fiskal dan akuntabilitas anggaran bukan semata tanggung jawab teknokratik, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap hak-hak warga yang menjadi pemilik sah dari setiap rupiah yang dianggarkan.
Di tengah keterbatasan sumber daya dan tuntutan pembangunan, justru di situlah anggaran harus menjadi bukti nyata keberpihakan pemerintah kepada rakyat. (*)
Penulis merupakan politisi Partai Golkar aktif yang kini menjabat Ketua DPRD Kota Cilegon dengan latar belakang pendidikan S2 Ilmu Politik, Universitas Indonesia.