BANTENHUB.ID – Sejarah perjuangan rakyat Banten menyimpan banyak kisah yang nyaris terlupakan.
Salah satunya adalah sosok Nyimas Gamparan, seorang perempuan tangguh yang memimpin perlawanan bersenjata melawan VOC, sebuah serikat pedagang asal Belanda pada awal abad ke-19.
Kala itu, Gubernur Jenderal Van Den Bosch mewajibkan setiap penduduk menanam kopi, tebu, teh, lada, kona, dan tembakau.
Warga Banten diwajibkan menyetorkan semua hasil perkebunan itu kepadanya, jika menolak maka anak laki-laki dibunuh dan anak perempuan dirudapaksa.
Di tengah tekanan kebijakan tanam paksa yang menyengsarakan rakyat, Nyimas memilih jalan yang tidak biasa bagi perempuan pada masanya, mengangkat senjata dan turun ke medan perang.
Nyimas Gamparan bukan hanya simbol perlawanan, tetapi juga pemimpin lapangan yang nyata.
Bersama sekitar 30 perempuan milisi, ia memimpin serangan gerilya di berbagai wilayah seperti Cikande, Jasinga, Balaraja, hingga Pamarayan.
Pasukannya dikenal cekatan dan taktis, bergerak cepat dari satu wilayah ke wilayah lain, menyulitkan pergerakan kolonial VOC.
Keberaniannya membuat VOC kelimpungan, bahkan dalam satu pertempuran, pasukan Nyimas berhasil menewaskan seorang tuan tanah Belanda yang dikenal kejam.
Namun, kemenangan itu membuat Nyimas menjadi target utama, VOC sadar bahwa senjata saja tidak cukup untuk mengalahkannya.
Mereka pun menerapkan politik adu domba.
Dengan janji jabatan dan kekuasaan, VOC menggandeng Raden Tumenggung Kartanata Nagara, seorang demang dari Jasinga, Bogor.
Orang inilah yang kemudian menjadi alat kolonial untuk menyerang dari dalam.
Ia dijanjikan sebuah jabatan, yakni sebagai pemimpin daerah pertama di wilayah Rangkasbitung, Lebak.
Dalam sebuah siasat pengkhianatan yang licik, Nyimas Gamparan berhasil dijebak dan dibunuh.
Ki Demang pun akhirnya dianugerahi bupati pertama di wilayah Lebak dan mulai memerintah dari wilayah Rangkasbitung (1830-1865).
VOC juga memberikannya gelar adipati, sehingga namanya menjadi Raden Tumenggung Adipati Kartanata Nagara.
Ia tidak gugur di medan laga terbuka, melainkan ditumbangkan oleh sesama anak negeri yang tergoda iming-iming kekuasaan.
Kini, nama Nyimas Gamparan kembali mencuat.
Makamnya berada di Keramat Patok Besi, Kampung Besi, Desa Sangiang, Kecamatan Pamarayan, Kabupaten Serang.
Tempat ini dulu nyaris tak dikenal, namun kini mulai ramai diziarahi.
Banyak yang datang untuk mendoakan, mengenang, sekaligus menelusuri jejak sejarah srikandi yang telah lama dilupakan.
Bagi warga sekitar, makam Nyimas bukan sekadar situs sejarah, tapi juga tempat sakral yang menyimpan nilai spiritual.
Tak sedikit yang percaya, semangat juangnya masih hidup dan menjadi pelindung bagi masyarakat sekitarnya.
Nyimas Gamparan adalah bukti bahwa perempuan pun mampu memimpin perlawanan dalam sejarah perjuangan bangsa.
Ia melawan tidak hanya penjajahan, tetapi juga pengkhianatan.
Namanya mungkin tak sering disebut dalam buku pelajaran, namun kisahnya hidup di hati mereka yang percaya bahwa keberanian tidak mengenal jenis kelamin.
Jika kamu berkunjung ke Pamarayan, sempatkanlah datang ke Kampung Besi.
Di sana, di bawah pohon tua dan batu nisan sederhana, terbaring tenang seorang perempuan yang pernah membuat penjajah gentar dan dikhianati bangsanya sendiri. (red)