Sigit Angki Nugraha, BANTENHUB —Lampu mobil satu-satunya penerang, di depan hanya gelap dan kabut, kiri jurang menganga, kanan tebing batu yang siap longsor kapan saja.
Di tengah semua itu, sebuah mobil Wuling Almaz pelan-pelan merayap di jalur sempit yang bahkan enggan disebut jalan.
Itulah malam yang tak akan dilupakan rombongan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kota Cilegon saat nekat menembus jalur Warung Banten–Citorek dari arah pesisir Sawarna, Bayah, Senin 12 Mei 2025.
Tujuannya, Negeri di Atas Awan.
Tapi yang mereka temui lebih dulu adalah sisi tergelap dari sebuah petualangan wisata.
Dimulai sekitar pukul 20.00 WIB, mobil berisi enam orang itu meluncur dari pantai menuju pegunungan.
Satu jam kemudian, mereka tiba di Warung Banten, di sanalah mimpi buruk dimulai.
Tanpa penerangan, tanpa sinyal, tanpa ruang untuk salah langkah.
Begitu memasuki jalur Warung Banten, kontur jalan seketika berubah liar.
Aspal menghilang, digantikan batu-batu tajam yang menyembul seperti ranjau.
Jalan menanjak curam, selebar satu mobil dengan tikungan sempit dan jurang di sisi yang nyaris tanpa pembatas.
“Begitu lewat Warung Banten, suasana langsung berubah mencekam. Mobil kami seperti berjalan di atas tali,” kata Ketua PWI Kota Cilegon, Ahmad Fauzi Chan.
Beberapa kali, mobil harus berhenti total, ban nyaris tergelincir ke sisi jalan yang rapuh.
Salah satu anggota rombongan bahkan terpaksa turun dari mobil untuk jadi mata sang sopir di kegelapan.
Ia memberi aba-aba agar mobil tidak tergelincir ke jurang atau setidaknya, tidak salah ambil tikungan maut.
Di satu titik, mereka melintasi bekas longsoran besar yang beberapa pekan lalu menutup sebagian badan jalan.
Lumpur masih basah, batu-batu sisa runtuhan masih berserakan.
“Kalau salah belok sedikit saja, bisa jatuh ke jurang. Jalanannya itu bukan sekadar rusak, tapi benar-benar ekstrem. Apalagi malam hari, tidak ada penerangan sama sekali,” ucap Sigit, sang sopir, yang matanya tampak masih menyimpan ketegangan.
Seolah belum cukup menegangkan, dari kegelapan sesekali muncul cahaya samar, lampu motor para penambang emas lokal yang membawa karung-karung batu dari tambang ilegal.
Mereka lewat begitu saja, seakan sudah menyatu dengan kerasnya medan.
Mereka tidak banyak bicara, tidak ada senyum, hanya tatapan lelah dan tajam yang melintas sekejap.
Jalur neraka ini terbentang sekitar 15 kilometer.
Tapi waktu tempuhnya lebih dari satu setengah jam.
Saat akhirnya tiba di Citorek pada pukul 22.30 WIB, semua penumpang terdiam.
Ada yang memejamkan mata lama, ada yang langsung turun dan menarik napas dalam-dalam.
Hal pasti, tidak ada yang ingin kembali lewat jalur itu dalam kondisi gelap.
“Kalau siang mungkin bisa sedikit lebih tenang, tapi malam hari seperti ini benar-benar tidak disarankan. Kami tidak akan ulangi lagi jalur ini dalam kondisi gelap,” ujar Rizal, salah satu penumpang yang mengaku berdoa tanpa henti sepanjang jalan.
Belum Layak untuk Wisatawan
Indahnya Negeri di Atas Awan Citorek memang memesona.
Tapi jalan menuju ke sana, khususnya dari arah Warung Banten, adalah mimpi buruk bagi siapa pun yang bukan petualang sejati.
Kondisi jalan yang belum beraspal, sempit, penuh tanjakan dan tikungan tajam, serta tanpa penerangan menjadikan jalur ini belum layak untuk wisatawan umum.
Terlebih bagi mereka yang tidak terbiasa menyetir di medan ekstrem.
Perlu ada intervensi serius dari pemerintah daerah dan pihak terkait.
Minimal, penerangan, perbaikan badan jalan, dan papan peringatan di titik-titik rawan.
Jangan sampai destinasi yang menjual keindahan justru menyimpan potensi tragedi.
Keindahan selalu punya harga, tapi jika harga itu adalah nyawa maka jelas, terlalu mahal. (***)