Sigit Angki Nugraha, BANTENHUB.ID – Di sudut tenang Kota Cilegon, di balik hiruk pikuk industri baja dan geliat tradisi yang tetap lekat, lahirlah sebuah kisah fiksi yang justru mencerminkan kenyataan banyak orang.
Kisah itu tertuang dalam novel Eat My Belly, karya Vica Normalita, penulis muda di Cilegon yang memilih nama pena Vica Lietha.
Buku ini bukan sekadar fiksi, itu adalah cermin sosial, kritik budaya, dan pelampiasan cinta untuk tanah kelahiran, Cilegon.
“Saya satu-satunya peserta dari Cilegon yang menang Mizan Writing Bootcamp tahun 2022. Dari lebih dari dua ribu peserta nasional dan internasional, Eat My Belly masuk sepuluh besar,” ujar Vica ditemui di Kantor Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Kota Cilegon, Kamis 15 Mei 2025.
Novel ini mengisahkan Karinka Safari, seorang perempuan 29 tahun, asli Cilegon, cucu dari seorang Jawara Banten.
Dengan tubuh berisi dan prinsip hidup big is beautiful, Karin merasa telah berdamai dengan dirinya.
Tapi apakah benar cinta diri yang ia yakini tidak menyimpan luka?
Obesitas dan Romantisme yang Salah Arah
Karin bukan tokoh perempuan yang umum kita jumpai dalam fiksi populer.
Ia gemuk, keras kepala, mencintai tubuhnya, tetapi dengan cara yang keliru, menolak olahraga, memakan segalanya, dan menghindari refleksi.
“Karin berpikir mencintai diri berarti memanjakan diri. Tapi justru itulah awal masalahnya,” kata Vica.
Masalah pertama memuncak di acara pernikahan sepupunya, sebuah pesta khas Cilegon yang penuh makanan, adat, dan keluarga.
Saat Karin mulai kalap makan, ia dihadang tamu lain karena dianggap menghabiskan makanan.
Dalam kepanikan, ia tersandung, menabrak kue pengantin mewah, dan terjatuh bersamaan dengan reputasinya.
Karin harus menanggung malu dan ganti rugi sebesar 20 juta rupiah, padahal ia sudah bersiap menikah dengan Jordi, lelaki sederhana yang mencintainya apa adanya.
Tapi satu masalah membuka pintu bagi ribuan lainnya.
Utang, Adat, dan SK PNS
Sebagai PNS di Bagian Umum Setda Kota Cilegon, Karin mencoba jalan cepat, menggadaikan SK-nya demi menutup utang dan menyokong pesta pernikahan.
Tetapi ternyata, kepala bagiannya saat ini adalah… suaminya di masa depan dalam draft naskah tiga tahun lalu, plot twist nyata yang tak pernah ia sangka.
“Saya nulis ini tiga tahun yang lalu. Pas buku ini terbit, eh suami menjabat Kepala Bagian Umum,” ujar Vica mengacu kepada sang suami yakni Kabag Umum Setda Pemkot Cilegon Riezka Budi Mustika.
Di tengah urusan administrasi SK, Karin bertemu tokoh baru, Dokter Raza yang jutek, sinis, dan mencurigainya mencuri sesuatu.
Namun ternyata, Raza adalah dokter spesialis endokrin yang bekerja sama dengan kantor Karin dalam program penyuluhan diabetes.
Diabetes, Warisan yang Nyata
Tak disangka, ibunda Karin menderita diabetes parah hingga amputasi kaki.
Dari sinilah isu besar dalam novel dimulai, soal penyakit yang terus naik prevalensinya di Banten, mencapai 500 persen dalam beberapa tahun terakhir.
Raza meminta Karin dan adiknya melakukan tes darah, hasilnya Karin positif menderita diabetes tipe 2, sebuah pukulan batin bagi perempuan yang mengira dirinya hanya ‘bahagia’.
Ia kemudian bergabung dalam klub diabetes di rumah sakit milik Raza, di sana Karin bertemu dengan berbagai pasien yang harus menjalani cuci darah, kehilangan penglihatan, hingga gagal jantung.
Penyakit yang selama ini ia abaikan, ternyata benar-benar menggerogoti.
Di Tengah Dua Cinta
Cerita makin rumit ketika Karin mulai merasakan kedekatan emosional dengan Raza, dokter yang awalnya begitu menyebalkan.
Tapi hatinya masih tertambat pada Jordi, lelaki baik yang telah lama setia.
Di usia 29, Karin bukan hanya harus memilih pasangan hidup, tapi juga masa depan dirinya sendiri, kesehatan atau gengsi, kebenaran atau kenyamanan.
Di balik kisah percintaan yang manis getir, Eat My Belly menghadirkan kritik pada budaya pesta yang dipaksakan, obsesi pada citra keluarga, serta minimnya literasi kesehatan di kalangan masyarakat.
Cilegon yang Sangat Nyata
Yang membuat novel ini benar-benar kuat adalah jalinan lokalitasnya, dari nama kampung, suasana hajatan, sampai makanan khas dan karakter-karakter yang ‘Cilegon banget’.
“Nama-nama seperti Kubanglesung, Kebondalem, sampai tokoh Mang Jai si Jawara Debus itu saya ambil dari kenyataan. Termasuk Pulau Merak Kecil, itu memang ada,” jelas Vica.
Dalam cerita ini, Cilegon tak sekadar menjadi latar, tetapi nyawa.
Ia hidup dalam percakapan tokoh, prinsip keluarga besar, dan rasa malu kolektif yang seringkali menekan individu dalam pilihan hidupnya.
Antara Tubuh, Tradisi, dan Takdir
Dengan Eat My Belly, Vica Lietha tak hanya menulis novel, ia merajut napas masyarakat Cilegon dalam bentuk fiksi yang menohok.
Karin, dalam segala kelebihan dan kekurangannya, adalah kita semua, manusia yang belajar menerima, gagal memahami diri sendiri, dan akhirnya dipaksa memilih jalan yang menyakitkan agar bisa hidup.
“Saya ingin mengangkat isu lokal, tapi juga isu universal,” ucap Vica.
Eat My Belly bukan hanya novel pemenang, ia adalah pernyataan bahwa kisah dari daerah pun bisa mendunia, selama ia jujur, dalam, dan penuh hati. (***)