SIGIT ANGKI NUGRAHA, BANTENHUB.ID – Gedung Balai Budaya Kota Cilegon sore itu tak seperti biasanya.
Langit di luar teduh, cahaya matahari samar-samar menyapu panggung kecil yang didekorasi sederhana namun hangat.
Saat itu sedang dilakukan Peresmian Rumah Setara, Pelayanan Terapi Disabilitas Unit Layanan Disabilitas Kota Cilegon.
Namun, bukan dekorasi atau prosesi peresmian yang paling membekas hari itu.
Justru sebuah momen sunyi, penuh getar emosi, yang membuat seluruh ruangan terdiam, tangis Wakil Wali Kota Cilegon, Fajar Hadi Prabowo.
Mas Bowo, begitu ia biasa disapa, tiba di lokasi acara dengan senyum hangat.
Duduk di barisan depan bersama Sekda Cilegon Maman Maulidin, ia menyimak setiap rangkaian acara.
Namun semua berubah saat dua sosok naik ke atas panggung: Nuri Aqila, gadis remaja tunanetra yang mengenakan gaun sederhana warna biru langit, dan Ahmad Bustomi, keyboardist tunanetra yang duduk tenang di balik alat musiknya.
Dengan mikrofon yang digenggam erat, Nuri mulai menyanyi.
Suaranya lembut, bening, nyaris bergetar di awal, namun mengalun makin kuat pada bait kedua.
Lagu yang dilantunkan terasa seperti nyanyian hati: tentang mimpi, harapan, dan keberanian berdiri meski tak mampu melihat dunia.
Beberapa detik setelah suara Nuri memenuhi ruangan, Mas Bowo mulai menunduk.
Tangannya menggenggam sisi kursi, matanya berkaca-kaca.
Saat lagu mencapai puncaknya, sehelai air mata jatuh ke pipinya.
Isak Tangis di Atas Podium
Tak banyak yang menyadari ketika Mas Bowo berjalan ke podium, ia menarik napas dalam-dalam.
Suaranya serak saat menyapa hadirin, lalu ketika ia menyebut nama Nuri, nada suaranya berubah.
“Saya… saya tidak menyangka… ada anak seperti Nuri… yang begitu kuat, begitu tulus, juga bercita-cita menjadi seorang penyanyi,” ucapnya pelan.
Ia berhenti, kepalanya tertunduk, bahunya berguncang.
Tangannya memegang sisi podium berwarna coklat dan emas dengan lambang Pemkot Cilegon di tengahnya.
Suasana mendadak senyap, tak ada suara, tak ada tepuk tangan, hanya isak kecil dari seorang pemimpin yang hatinya tersentuh oleh suara seorang anak.
Dari kursi barisan pertama, Ibu Nur Kusuma Ngarasati berdiri.
Tanpa kata, ia berjalan ke depan, sambil membawa sehelai tisu, dan dengan pelan menyodorkannya ke tangan suaminya.
Mas Bowo menyambutnya dengan senyum tipis, masih berlinang air mata, lalu mengusap wajahnya pelan.
“Hari ini adalah hari ketika saya belajar sesuatu yang sangat penting,” ucapnya dengan suara bergetar, memaksakan dirinya untuk tetap berdiri tegak.
Suasana menjadi sangat emosional, beberapa tamu ikut menyeka air mata.
Para pendamping anak-anak disabilitas terdiam sendu, begitu pula para pejabat yang hadir, tak ada yang ingin merusak keheningan penuh makna itu.
Dalam sambutannya yang kemudian dilanjutkan perlahan, Mas Bowo berbicara tentang pentingnya empati, keadilan, dan keberpihakan.
Tentang bagaimana suara anak-anak seperti Nuri harus didengar, dipeluk, dan diperjuangkan.
Ia berbicara tidak seperti birokrat, tapi seperti seorang ayah yang hatinya remuk melihat mimpi-mimpi kecil yang kerap diabaikan.
“Jangan bawa politik dalam perjuangan seperti ini. Ini soal hati. Ini soal kita semua,” katanya, kali ini dengan suara yang mantap.
Tangis Mas Bowo di Rumah Setara bukan hanya ekspresi pribadi.
Ia menjadi simbol: bahwa di tengah sistem yang kadang kaku, masih ada ruang bagi rasa.
Bahwa di tengah ambisi dan agenda, masih ada pemimpin yang bisa menangis karena lagu seorang anak.
Belum Miliki Layanan Disabilitas
Sementara itu, Kepala Dindik Cilegon, Henny Anita Susila, dalam sambutannya menjelaskan bahwa selama ini Kota Cilegon belum memiliki layanan khusus disabilitas yang terintegrasi.
Padahal, berdasarkan ketentuan nasional, seluruh kabupaten/kota diwajibkan memiliki unit layanan disabilitas pada 2025.
“Alhamdulillah, walaupun dengan segala keterbatasan, Kota Cilegon kini punya Rumah Setara,” kata Henny.
“Tahun lalu, kami telah berhasil mengakseskan layanan pendidikan untuk 200 anak berkebutuhan khusus dari total sekitar 700 anak disabilitas yang tersebar di sekolah formal dan nonformal,” tambah Henny.
Ia mengungkapkan, layanan awal yang disediakan Rumah Setara difokuskan pada terapi bagi anak-anak penyandang Tuna Grahita.
Ini mengingat hasil asesmen tahun 2024 menunjukkan bahwa 39 persen dari anak disabilitas di Cilegon berada dalam kategori ini.
Selain itu, Dindik juga telah menggagas kegiatan PINTEK (Penyuluh Inklusi Teknologi) untuk menjangkau sekolah-sekolah inklusif.
Selain itu, juga menjalin kerja sama lintas sektor melalui MoU dengan Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Dinas DP3AB2KB, serta RSUD Kota Cilegon.
“Kolaborasi ini penting agar pelayanan kepada anak-anak disabilitas berjalan holistik. Kami juga menggandeng psikolog dari SDI Kota Cilegon untuk mendukung proses terapi,” kata Henny.
Namun, Henny tak menampik masih adanya tantangan, salah satunya adalah minimnya guru pendamping khusus (GPK) di sekolah-sekolah inklusif.
Saat ini, dari 50 sekolah inklusif di Cilegon, sebagian besar belum memiliki guru dengan latar belakang pendidikan luar biasa.
“Guru di sekolah masih umum. Belum banyak yang khusus menangani anak-anak disabilitas,” terang Henny.
“Maka, kami berencana merekrut guru-guru berlatar pendidikan luar biasa agar anak-anak berkebutuhan khusus bisa dilayani optimal,” tambahnya.
Bantuan CSR
Dalam kesempatan tersebut, Dindik juga menerima bantuan CSR dari perusahaan swasta, berupa perabotan untuk SD Nasikin I dan II.
Henny pun menyampaikan apresiasi atas dukungan sektor swasta dalam mendukung fasilitas pendidikan inklusif.
Sebagai penutup, ia menegaskan bahwa mulai tahun ajaran baru 2025/2026, seluruh sekolah di Cilegon dari jenjang TK, SD, hingga SMP akan ditetapkan sebagai sekolah inklusif.
“Prinsip pendidikan adalah tanpa diskriminasi. Semua anak harus bisa sekolah. Dan kami berkomitmen menjadikan seluruh sekolah di Cilegon sebagai sekolah inklusif,” pungkasnya.(***)